Apa Artinya Aurat Muslimah Di Depan Muslimah?
MENUTUP aurat untuk Muslim itu sudah jelas sekali hukumnya. Sebagai
Muslimah, kita diperintahkan menutup aurat yang begitu banyak dengan
secara terperinci. Nah, bagaimana syari’ah mengatur soal aurat Muslimah
ini?
Aurat artinya anggota badan yang harus ditutupi seorang muslim atau
muslimah. Aurat muslimah meliputi aurat yang harus ditutupi pada waktu
sholat dan aurat di luar waktu sholat. Aurat muslimah pada waktu sholat
adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.
Untuk yang kedua, aurat muslimah terbagi menjadi aurat muslimah di
depan laki-laki (baik mahrom atau tidak) dan aurat muslimah di depan
sesama muslimah dan di depan perempuan non-muslimah.
Ada beberapa pendapat ulama mengenai hal ini, yaitu :
Pertama, menurut Imam Syafi’i (pendiri madzab Syafi’i) dan Imam
Hanafi, aurat muslimah di depan laki-laki yang mahrom dan perempuan
muslimah atau kerabat dekatnya adalah antara pusar hingga lutut.
Kedua, menurut Imam Malik (pendiri madzhab Maliki) adalah seluruh
badan kecuali wajah, kepala, leher, kedua tangan dan kedua kaki.
Ketiga, menurut Imam Ahmad (pendiri madzhab Hambali) aurat perempuan
adalah seluruh badannya kecuali wajah, tangan, kepala, kaki, dan betis.
Bagi madzhab Hambali dan Hanafi telapak kaki bukanlah aurat. Oleh
karena itu madzhab Hanafi tidak mewajibakan muslimah menutup telapak
kaki dalam sholat.
Sedang aurat muslimah di depan perempuan non-muslimah, pendapat
Syafi’i dan Hanafi mengatakan bahwa aurat muslimah di depan mereka
adalah seluruh badan kecuali yang umum terlihat ketika menjalankan
pekerjaan rumah sehari-hari, artinya dalam batas menggunakan pakaian
rumah.
Sedang menurut Hambali dan Maliki adalah seperti aurat muslimah di depan muslimah, yaitu antara pusar dan lutut.
Kedua pendapat tersebut bersumber dari panafsiran ayat : 31 surah
al-Nur : Katakanlah kepada wanita yang beriman : “hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau saudara-saudara lelaki mereka, atau putera-putera
saudara-saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara-saudara
perempuan mereka, atau “wanita-wanita” (mereka)……”
Menurut Hanbali, kata “wanita-wanita (mereka)” bermakna perempuan
pada umumnya, tanpa beda antara perempuan muslimah atau non-muslimah.
Maka diperbolehkan bagi muslimah untuk memperlihatkan perhiasannya
kepada perempuan non-muslimah apa yang diperbolehkan untuk di
perlihatkan kepada muslimah dan muhrimnya.
Sedang Imam syafi’i dan Imam Hanafi menegaskan bahwa kata
“wanita-wanita” adalah khusus untuk muslimah, maka tidak dihalalkan bagi
muslimah untuk memperlihatkan auratnya ataupun perhiasannya di depan
perempuan non muslimah, kecuali dalam batas yang umum dalam menjalankan
pekerjaan rumah sehari-hari.
Qurtubi (seorang ulama Maliki) dalam tafsirnya (12/232) menjelaskan
“Seorang muslimah tidak boleh membuka auratnya di depan non muslimah,
kecuali ia adalah hamba sahayanya, sesuai dengan ayat 31 surah al-Nur”.
Ibnu Juraij, Ubadah bin Nasi dan Hisyam al-Qari’ membenci/melarang non
muslimah berciuman (cara bersalaman untuk perempuan ala Arab) dan
melihat aurat muslimah, mereka menafsirkan kata “dan perempuan-perempuan
mereka” dengan muslimah. Ubadah bin Nasi berkata “Umar r.a. pernah
berkirim surat kepada Ubadah bin Jarrah, ‘Aku mendengar bahwa wanita non
muslimah, di wilayahmu, telah terbiasa masuk ke kamar mandi muslimah,
maka jangan lah itu terjadi lagi, karena non muslimah tidak boleh
melihat muslimah dalam keadaan terbuka aurat.’” Kemudian Abu Ubaidah
menyerukan kepada rakyatnya “Barangsiapa dari kaum wanita (non muslimah)
yang memasuki kamar mandi muslimah dengan tanpa alasan yang pasti, maka
akan celakalah dia”.
Ibnu Abbas berkata : Seorang muslimah (auratnya) tidak boleh terlihat
oleh wanita nasrani atau yahudi, khawatir kalau akan diceritakan kepada
suaminya. Selanjutnya Qurtubi menjelaskan “Dalam masalah ini telah
terjadi perbedaan antar para ulama. Kalau wanita tersebut hamba sahaya
maka boleh saja melihat tuannya muslimah, kalau tidak maka tidak boleh
karena telah terputusnya hubungan ukhuwah dengan non muslimah
sebagaimana banyak dijelaskan.”
Menurut syeh Atiyah Muhamad Saqr, seorang mufti Mesir : hubungan
muslimah dan non muslimah adalah seperti hubungan muslimah dengan non
muhrimnya, artinya aurat mereka adalah seluruh badan kecuali telapak
tangan dan muka.
Jadi kesimpulannya : wanita muslimah apakah harus berjilbab di depan
non muslimah? terdapat dua pendapat ulama. Untuk lebih berhati-hati
tentu pendapat kedua akan lebih baik, namun aspek etika dan kemaslahatan
agama tetap harus dipertimbangkan dan diperhatikan dalam masalah ini.
Meskipun di sana terdapat pendapat yang mengatakan bahwa aurat muslimah
di depan muslimah dan di depan laki-laki muhrim adalah antara pusar
hingga lutut, namun ini bukan berarti sebatas itu seorang muslimah harus
menutupi auratnya, namun yang tersirat dalam ajaran manutupi aurat
adalah agar menjaga kesopanan dan tetap berhati-hati dalam bermu’asyarah
meskipun dengan muhrim.
Subhanallah,, inilah replika baju Nabi Adam Alaihissalam
Rasulullah bersabda : "Dahulu Allah mencipta Adam 'alaihissalam yang tingginya enam puluh hasta" (HR Imam Bukhari No. 3326)
60 hasta (1 kaki = 30 cm, 1 hasta = 1,5 kaki, jadi 60 hasta = 90 kaki = 30 meter)
Jika Baju Nabi Adam as di buat kira seperti inilah tingginya, subhanallah.
### Berbisnis & Beramal : KLIK
Rasulullah bersabda : "Dahulu Allah mencipta Adam 'alaihissalam yang tingginya enam puluh hasta" (HR Imam Bukhari No. 3326)
60 hasta (1 kaki = 30 cm, 1 hasta = 1,5 kaki, jadi 60 hasta = 90 kaki = 30 meter)
Jika Baju Nabi Adam as di buat kira seperti inilah tingginya, subhanallah.
### Berbisnis & Beramal : KLIK
Mengapa Rasul Melarang Kita Makan & Minum Sambil Berdiri?
“Sesungguhnya beliau melarang seseorang minum sambil berdiri.”
Qotadah berkata: “Bagaimana dengan makan?” Beliau menjawab: “Itu lebih
buruk lagi,” (HR. Muslim dan Turmidzi).
“Jangan kalian minum sambil
berdiri! Apabila kalian lupa, maka hendaknya ia muntahkan!” (HR.
Muslim).
Islam sudah mengatur semua apapun kehidupan kita ini. Termasuk ketika makan dan minum.
Dr. Abdurrazzaq Al-Kailani berkata: “Minum dan makan sambil duduk,
lebih sehat, lebih selamat, dan lebih sopan. Ini karena apa yang diminum
atau dimakan oleh seseorang akan berjalan pada dinding usus dengan
perlahan dan lembut. Adapunminum sambil berdiri, maka ia akan
menyebabkan jatuhnya cairan dengan keras ke dasar usus, menabraknya
dengan keras,jika hal ini terjadi berulang-ulang dalam waktu lama maka
akan menyebabkan melar dan jatuhnya usus, yang kemudianmenyebabkan
pernah sekali minum sambil disfungsi pencernaan. Adapun Rasulullah
berdiri, maka itu dikarenakan ada sesuatu yang menghalangi beliau untuk
duduk, seperti penuh sesaknya manusia pada tempat-tempat suci, bukanm
erupakan kebiasaan. Ingat hanya sekali karena darurat!”
Begitu pula makan sambil berjalan, sama sekali tidak sehat, tidak
sopan, tidak etis dan tidak pernah dikenal dalam Islam dan kaum
muslimin.
Dr. Ibrahim Al-Rawi melihat bahwa manusia pada saat berdiri, ia dalam
keadaan tegang, organ keseimbangan dalam pusatsaraf sedang bekerja
keras, supaya mampu mempertahankan semua otot pada tubuhnya, sehingga
bisa berdiri stabil dan dengan sempurna. Ini merupakan kerja yang sangat
teliti yang melibatkan semua susunan syaraf dan otot secara bersamaan,
yang menjadikan manusia tidak bisa mencapai ketenangan yang merupakan
syarat tepenting pada saat makan dan minum.
Ketenangan ini bisa dihasilkan pada saat duduk, dimana syaraf berada
dalam keadaan tenang dan tidak tegang, sehinggasistem pencernaan dalam
keadaan siap untuk menerima makanan dan minum dengan cara cepat.
Dr. Al-rawi menekankan bahwa makanan dan minuman yang disantap pada
saat berdiri, bisa berdampak pada refleksi saraf yang dilakukan oleh
reaksi saraf kelana (saraf otak kesepuluh) yang banyak tersebar pada
lapisan endotel yang mengelilingi usus. Refleksi ini apabila terjadi
secara keras dan tiba-tiba, bisa menyebabkan tidak berfungsinya saraf
(Vagal Inhibition)
yang parah, untuk menghantarkan detak mematikan bagi
jantung, sehingga menyebabkan pingsan atau mati mendadak.
Begitu pula makan dan minum berdiri secara terus –menerus terbilang
membahayakan dinding usus dan memungkinkan terjadinya luka pada lambung.
Para dokter melihat bahwa luka pada lambung 95% terjadi pada
tempat-tempat yang biasa bebenturan dengan makanan atau minuman yang
masuk.
Air yang masuk dengan cara duduk akan disaring oleh sfringer.
Sfringer adalah suatu struktur maskuler (berotot) yang bisa membuka
(sehingga air kemih bisa lewat) dan menutup. Setiap air yang kita minum
akan disalurkan pada ‘pos-pos’ penyaringan yang berada di ginjal. Nah,
jika kita minum berdiri air yang kita minum tanpa disaring lagi.
Langsung menuju kandung kemih. Ketika langsung menuju kandung kemih,
maka terjadi pengendapan disaluran ureter. Karena banyak limbah-limbah
yang menyisa di ureter.
Inilah yang bisa menyebabkan penyakit kristal ginjal. Salah satu
penyakit ginjal yang berbahaya. Susah kencing itu penyebabnya.
Sebagaimana kondisi keseimbangan pada saat berdiri disertai pengerutan
otot pada tenggorokan yang menghalangi jalannya makanan ke usus secara
mudah, dan terkadang menyebabkan rasa sakit yang sangat yang mengganggu
fungsi pencernaan, dan seseorang bisa kehilangan rasa nyaman saat makan
dan minum. Oleh karena itu marilah kita kembali hidup sehat dan sopan
dengan kembali ke pada adab dan akhlak Islam, jauh dari sikap
meniru-niru gaya orang-orang yang tidak mendapat hidayah Islam. []